Manusia adalah pencari. Apabila kita memandang orang kebanyakan dan tingkah lakunya, kita melihat, apapun yang dilakukannya, ia di dalam lubuk hatinya tetap tidak puas (lih. Pengkotbah 1 dst). Ia pergi ke sekolah, mencari pekerjaan, kawin dan mendapat anak, membangun rumah, membeli mobil …. Semuanya itu mungkin perlu, tetapi tidak membawa kepuasan yang tetap. Angkatan demi angkatan manusia menempuh jalan yang sama, dan hanya sebagai kekecualian, dan itu pun jajrang sekali, ia bertanya, apa gerangan yang dapat menjadi dasar rasa tidak puas abad ini. Andaikata pemikiran ilmiah begitu jalannya, maka ilmu pengetahuan takkan pernah maju-maju. Apabila eksperimen ilmiah gagal, maka orang mencoba kombinasi baru, diharapkannya akan lebih berhasil, Tetai kalau mengenal seni kehidupan, rupa-rupanya manusia, kendati segala kegagalan, tidak belajar apa-apa, dengan tak berubah, manusia memakai pilar kelakuan yang sudah berabad-abad tuanya dan selalu tidak cocok, dan ia mencoba mengimbangi kegelisahan batinnya dengan keisengan lahiriah.
Dari mana datangnya kegelisahan itu? Beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa manusia dalam tindak-tanduknya didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan, yang mendapatkan dasarnya dalam rasa rendah diri, mungkin ini ada benarnya. Tetapi apa sebabnya maka begitu banyak orang ditandai rasa rendah diri? Adakah manusia sungguh rendah derajatnya? Ya dan tidak. Apabila orang hidup di permukaan keberadaannya dan mempersamakan diri dengan permukaan itu, memang ia rendah derajatnya. Tetapi bagaimanapun juga dalam manusia ada suatu teras yang terlupakan, di mana soal rendah diri sama sekali tidak ada artinya, karena pada taraf itu orang menjadi satu dengan semua dan segala-galanya. Rendah diri ini hanya mungkin, selama orang tetap memperbandingkan dan memperbincangkan perihal apa yang kepunyaanku dan apa yang kepunyaanmu. Jika pengertian tentang kepunyaanku dan kepunyaanmu itu sudah terpecahkan, karena orang menjadi satu dalam cintakasih dengan semua orang lainnya, maka dasar untuk rendah diri itu sendiri sudah dihapuskan dan kehilangan artinya. Jadi, pertanyaaan itu bunyinya: Siapakah engkau? Manusia itu ada sisi dalam dan sisi luarnya, ada kepribadian dalam dan kepribadian dangkal.
KEPRIBADIAN DANGKAL
Kepribadian yang dangkal terdiri atas suasana psiko-fisis. Psikologi menaruh perhatian khusus tentang ini dan menyebutnya sebagai hasil dari keturunan dan lingkungan. Anda itu muda atau tua, cantik atau jelek, pandai atau bodoh. Anda mempunyai tabiat dan watak tertentu. Anda tidak menyenangkan atau menyenangkan dalam pergaulan, Anda pemarah atau lemah-lembut, agresif atau ramah tamah …
Semuanya itu akhirnya berupa klise yang dibuat oleh Anda sendiri dan lingkungan Anda. Mereka yang melukiskan kepribadian dengan menggunakan klise-klise itu membuat Anda menjadi salah satu nomer di dalam koleksi. Mereka membandingkan Anda dengan orang lain. Anda mempunyai tingkat kecerdasan tertentu, karena Anda dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu dan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan lain, dan oleh karena itu Anda lebih cerdas daripada kebanyakan teman Anda. Kepribadian itu ditulis pada sebuah kartu dan dimunculkan oleh komputer. Hampir segala apa yang dilakukan manusia tertuju untuk memberi umpan kepada kepribadian yang dangkal ini. Ia berusaha tampak lebih baik. Fisik dan psikis. Ia mencuci dan menggosok sisi luar. Ia hampir tidak mempunyai waktu untuk memikirkan sisi dalam, kehidupan batin, segala tenaga dihabiskan untuk menggosok dinding muka. Keberadaan lalu menjadi ulangan tanpa habis-habisnya dari hal yang sama saja. Adakah ini kehidupan ?
Hanya dia yang menemukan jalan ke kehidupan, bila ia berhasil mendobrak penyamaan diri dari gambar khayalan itu. Anda tidak persis sama dengan klise-klise itu. Sudah barang tentu klise-klise itu adalah suatu kenyataan. Tetapi tubuh dan psike itu bukanlah terpenting, bukanlah kenyataan yang hakiki, sama seperti dinding muka itu tidak merupakan hakikat rumah. Segera Anda akan mulai memahami, bahwa Anda akhirnya bukan kepribadian yang dianggap orang lain kepunyaan Anda, maka Anda tidak usah mempertahankan kepribadian itu. Kepribadian itu tidak menarik perhatian. Anda tidak usah memainkanperan rangkap lagi.Apabila seseorang menyerang Anda, maka orang itu memukul dalamudara hampa.Anda tidak ada di mana ia mukul. Aa yang diserangnya adalah manusia lahir Anda, tetapi Anda ada di dalam manusia batin Anda (lih. 2 Kor 4: 16). Bukankah itu maksud Yesus pula ketika disabdakanNya: “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa” ( Mat 10: 28 ).
Aneh bin ajaib, ternyatalah bahwa semakin kurang Anda mengindahkan “kepribadian” Anda yang dangkal itu, semakin mudah kepribadian Anda menemukan jalannya. Semakin kurang Anda ingat dengan jelas-tegas akan “sifat-sifat” Anda, semakin spontan sifat-sifat itu lalu menjadi wajar, lebih murni, lebih asli. Dan selanjutnya:semakin kurang Anda mempersamakan diri dengan “kepribadian” Anda, semakin kurang pula Anda mempersamakan orang lain dengan “kepribadian”-nya, halmana tidak dapat tidak mengakibatkan kurangnya pertentangan-pertentangan.
Banyak orang mengeluh, bahwa mereka diperas orang lain dan tidak tahu bahwa orang yang memeras mereka tinggal dalam diri mereka sendiri. Soalnya ialah menemukan letak sebab sesungguhnya krisis itu, yaitu dalam kenyataan, bahwa kita mempersamakan diri kita dengan aku yang kita sangkal itu. Kita mengira, bahwa tidak lebih adanya daripada sisi luar dan oleh karena itu menggunakan segala tenaga untuk membangun dan mempertahankan itu. Tetapi dengan itu tidak memajukan sisi luar kita, kita malah merugikannya: kita memaksa dia untuk main sandiwara, padahal seharusnya ia merupakan ungkapan dari kenyataan batin. Sisi luar mendapat dasar keberadaannya melulu di sisi dalam. Segera orang menginsyafi itu dengan jelas, maka banyak tenaga, yang dahulu ditanamkan dalam permainan sandiwara, kini dapat digunakan untuk perkembangan batin.
Orang memang merasa dibebaskan secara tak terhingga, jika akhirnya ia memahami bahwa ia bukannya yang dikira orang, melainkan seorang yang lain. Meskipun begitu dalam diri kita ada sesuatuyang menghalangi kita untuk mengakui kebenaran atas diri kita. Kepribadian yang lama dialami sebagai titik bersandar: kendati kekurangnnya dan tindaknnya sewenang-wenang, kepribadian lama adalah sesuatu yang sudah dikenal. Dengan dia, orang tahu akan halnya dan orang tidak dihadapkan kepada hal tak terduga yang pahit. Ia memberikan tanah berpijak yang kokoh, yang diatasnya orang merasa aman. Banyak orang lebih suka memilih penyakit mereka atau bentuk lain dari penderitaaan mereka daripada memilih keadaaan bebas, yang mungkin akan memaksa mereka untuk mempertaruhkan diri mereka dalam hal yang belum dikenal. Lebih baik sesuatu lama yang sudah dikenal daripada sesuatu baru, yang karena tidak dikenal lalu dialami sebagai bahaya atau ancaman. Jika kita melayangkan pandangan sejenak kepada taraf fisik, maka kita lihat, bahwamanusia yang mempersamakan diri dengan kepribadian dangkalnya biasanya hidup dalam tubuh yang tegang, tertekan dan berat. Semakin banyak yang harus dipertahankan orang semakin banyak ketegangan tampakpada tubuhnya.
Setiap ketegangan adalah suatu sifat, suatu “cap” yang dipertaruhkan dan hendak dilindungi. Tetapi akan terjadi keringanan luar biasa, pun dalam tubuh, bilamana orang akhirnya menetap di pusatnya. Atau tepatnya: ditambatkan dipusatnya. Sebab keadaan definitive tidak ada dalam genggamannya: itu akan turun dari surga sebagai rahmat. Tetapi orang dapat menyiapkan diri, dengan selalu mengerti kekeliruan dasarnya: orang mengira, bahwa ia hanya kepribadian yang kecil saja, bukan mahluk ilahi.
Jadi boleh dikatakan, bahwa sebab terdalam segala kepapaan harus dicari dalam gambar khayal dasar: manusia tidak tahu siapa atau apa ia adanaya. Siapa yang sadar akan adanya adalah hakekatnya terdalam, tidak dapat tidak adalah baik, ia bersinarkan cintakasih, “barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Soalnya ialah memaklumi bahwa kita ada di dalam Kristus bahwa itu adalah kehidupan dari kehidupan kita. Pada orang yang menginsyafi hal itu, bukan hanya dengan kepala saja tetapi dengan seluruh keberadaannya, perbuatan baik itu datang dengan sendirinya: “Setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi” (1 Yoh 3: 6).
KEPRIBADIAN DALAM
Manusia adalah suatu dunia semesta. Theresia dari Avila dalam gambarannnya tentang jiwa berbicara tentang kedalaman yang tak terhitung jumlahnya, ya jutaan.
[1] Memang ada bebeapa taraf di dalam manusia, dan adalah penting menyadari perbedaan antara taraf-taraf itu. Ada taraf dangkal tentang hal-hal yang dapat diketahui: di mana anda dilahirkan? Apa pekerjaan anda untuk penghidupan anda; apakah anda mempunyai SIM? Setiap orang tahu, bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu hampir tidak memperkaya pengetahuan kita tentang pribadi-pribadi yang bersangkutan. Taraf watak dan tabiat suadah lebih dalam. Taraf itu mendorong kita kepada keadaan yang menyedihkan, untuk saling mengelompokkan dan nenempatkan di pelbagai petak, memberi cap,menambatkan semua orang pada sifat-sifat tertentu. Tetapi dalam lubuk hatinya sendiri setiap orang tahu, bahwa ia tidak jauh sama dengan apa yang dikatakan dan diperkirakan orang tentang dirinya. Lebih dalam lagi terletak taraf bawah sadar, taraf luka-luka psikis dan kompleks-kompleks yang digumuli oleh psikologi dalam. Kenyataan bahwa manusia yang terluka psikenya dapat menjadi sadar atas luka-lukanya dan dalam penyadaran diri secara berangsur-angsur dadpat melepaskan itu, membuktikan lebih dalam lagi, dari dalam mana orang dadpat melihat dan menilai komples-komleksnya dengan amat jelas sebagai kekuatan asing yang mencegah dia untuk melampiaskan dirinya yang terdalam. Ia tahu bahwa ia dikhianati psikenya, bahwa psikenya tidak memberikan gambaran yang murni tentang dirinya sendiri. Ia tahu, bahwa di dalam kedalamannya ia adalah adanya itu. Andaikata diajukan pertanyaan yang menentukan ini,
manusia, siapakah engkau?” kiranya jawabnya harus begini: Aku ini dari Allah – aku ini menuju Allah. Kepribadianku yang sebenarnya ada di dalam Allah. Inti terdalam pribadiku menyangkut Allah, dilahirkan dari Allah, tersembunyi dalam Allah. “Bagiku Allah adalah lebih akrab daripada keakrabanku dg diriku sendiri” (St. Agustinus).
manusia, siapakah engkau?” kiranya jawabnya harus begini: Aku ini dari Allah – aku ini menuju Allah. Kepribadianku yang sebenarnya ada di dalam Allah. Inti terdalam pribadiku menyangkut Allah, dilahirkan dari Allah, tersembunyi dalam Allah. “Bagiku Allah adalah lebih akrab daripada keakrabanku dg diriku sendiri” (St. Agustinus).
[2] Kepribadian yang sebenarnya oleh Ruusbroec (1294 – 1381) dinamakan ‘hakekat’ atau ‘dasarnya’ cenderung hanya mencekam, menyita segala-galanya, menarik segala-galanya kepada dirinya sendiri. Kepribadian yang dangkal oleh karenanya adalah sumber kesepian.siapa yang ‘menelan’ orang lain, tetap tinggal sama sepinya; mungkin ia menjadi agak lebih gemuk, tetapi tidak sampai ke persekutuan yang sebenarnya. Adapun ‘dasar’ itu ialah bagian dari manusia, yang citra Allah adanya. Sesungguhnya segala ciptaan mengambil bagian dalam Allah, tetapi hanya manusia adalah Citra Allah (Kej 1:26). Pembagian diri Allah adalah amat kuat dalam penciptaan manusia. Oleh karena Allah adalah cintakasih, maka ‘dasar manusia adalah juga bunga api cintakasih Allah. Kepribadian dalam diri manusia adalah cintakasih. Dan cintakasih berarti dua hal ini: keterbukaan dan pemberian diri.
‘Dasar’ manusia adalah keterbukaan total. Hakekat kita yang diciptakan itu adalah bagian gurun tandus yang liar – ini gambaran Ruusbroec – suatu keterbukaan yang begitu besar dan luas, sehingga Allah dapat hidup di dalamnya. Putera Allah menerakan meterai-Nya pada segala apa yang diciptakan. “Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol 1: 16). Tetapi Putera Allah adalah pertama-tama keterbukaan yang tak terhingga; Ia adalah tubir yang menerima hakekat dari Bapa (Yoh 5:19 dan 30; Kol 1: 19 dan 2: 9). Inilah yang pertama-tama dalam cintakasih: orang terbuka, orang menaruh hormat mendalam kepada orang lain, orang membiarkan yang terdalam dalam orang lain menajdi nyata. Orang memelihara tangannya terbuka kepada segala apa yang hendak diberikan orang lain; sukacita yang lebih besar tidak dapat diberikan orang kepada siapapun dan tetap menjadi bagian hidupnya sendiri.
Cintakasih adalah juga pemberian diri. Dalam Tritunggal Mahakudus, Putera mengembalikan hidup yang diperolehNya kepada Bapa. Dalam syukur dan terimakasih yang tak terhingga diaku-Nya, bahwa hidup itu bukan hidup-Nya sendiri, melainkan hidup dari Bapa. Demikian pun hendaknya manusia tahu pula bahwa hidup, yang didapatnya, bukanlah kepunyaannya sendiri melainkan kepunyaan Allah. Tangannya yang terbuka mengatakan: tiada sesuatu pun adalah milikku, semuanya adalah milik-Mu Tuhan.
Selama orang membuka tangannya, maka segala air laut dapat mengalir di atasnya, tetapi segera orang menutup tangannya orang kehilangan segala-galanya. Kita tidak dapat memberikan kepada Allah apa yang tidak lebih dahulu kita terima daripada-Nya: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4: 19). Dalamhubungan kita dengan Allah, maka dua segi cintakasih jatuh sama yakni keterbukaan dan pemberian diri.; cintakasih kepada Allah berupa keleluasaan untuk terbuka, yang memberi kesempatan kepada Allah untuk ada sebagai ia sendiri adanya, yaitu cintakasih yang memberikan dirinya. Theresia dari Liseuix menginsyafi ini dengan jelas sekali; dalam faal persembahannya kepada cintakasih yang Maharahim, ia mempersehkan dirinya sendiri sebagai pinggan kosong, untuk menyenangkan Allah dengan membiarkan Allah melampiaskan cintakasihNya sepenuhnya, dengan mengisi pinggan itu. Satu-satunya yang dapat kita persembahkan kepada Allah adalah keterbukaan kita.
A CINTAKASIH ILAHI
Kepribadian manusia yang sebenarnya bukanlah sembarang cintakasih. Cintakasih sejati adalah selalu Ilahi. Sejak berabad-abad lamanya Gereja bernyanyi dalam liturgy, “Jika ada cintakasih hadirlah Tuhan”. Gambaran yang dilukiskan Yesus tentang penadilan terakhir, membuat kita memahami, bahwa manusia yang dengan cintakasih yang jujur berbuat sesuatu untuk seorang saudara atau saudari tidak dpat tidak berhubungan dengan Kristus sendiri (Mat 25: 31 dst.). Ia menempuh hidup yang menyerupai Allah dan oleh karena itu pintu gerbang surga terbuka baginya: ada kesinambungan antara hidup surgawinya di dunia ini dan hidup di surga (bdk. Yoh 5: 24; 1 Yoh 3:14). Kepribadian kita yang sebenarnya adalah cintakasih Allah, yang telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus, yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rom 5: 5). Roh kita tidak membiarkan dirinya terpisah dari Roh Kudus. “Roh Kudus bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah ana-anak allah” (Rom 8: 16). Apabila Paulus menulis, “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (Gal 5: 25), maka kita boleh bertanya, bagaimana kata ‘roh’ itu hendaknya ditulis: dengan huruf kecil atau huruf besar?
Pertanyaan yang sama timbul juga mengenai pelbagai teks Paulus lainnya tentang roh. Sesungguhnya kata ‘roh’ itu kiranya sekaligus hanya dapat ditulis dengan huruf kecil dan huruf besar.Bahwasanya manusia mempunyairoh, maka bagi Paulus – dan juga bagi pengarang kisah Penciptaan – adalah akibat dari kenyataan, bahwa Allah membagikan RohNya. Manusia berbagi hidup hewani dengan binatang-binatang: menurut Alkitab, Sabda adalah pembawa hidup itu. Tetapi roh manusia datang langsung dari Allah.
[3] Dihapuskah dengan itu perbedaan antara manusia dengan Allah? Adakah itu bukan kecongkakan manusia, mengatakan bahwa ia menjadi satu dengan Allah? Ketika orang-orang Yahudi menuduh Yesus, bahwa Ia membuat diriNya menjadi Allah, maka jawabNya, “tidakkah ada tertulis dalam Kitab Taurat kamu, Aku telah berfirman, kamu adalah Allah? Jikalau mereka kepada siapa firman itu disampaikan, disebut Allah, maka kitab suci tidak dibatalkan” (Yoh 10: 34-35). Yesus mengartikan perkataan “kamu adalah Allah” secara harafiah. Thomas Aquinas (1224-1274), yang biasa menimbang-nimbang perkataannya, tidak ragu-ragu menulis, “Putera dalam keAllahanNya, telah mengambilkodrat kita, agar Ia sendiri dengan melalui manusia, membuat kita menjadi Allah (ut homined deos foceret fuctus home)”.
[4] Sudah barang tentu ada jarak yang tak terhingga antara Alah dan kita: Allah adalah Allah dalam dan oleh diriNya sendiri, sedangkan kita adalah Allah berkat rahmat, karena kita mempunyai bagian dalam keAllahanNya.Pokok anggur adalah lebih daripada ranting-ranting.Tidak dapat dipikirkan, bahwa ranting-ranting itu adalah segenap pokok anggur itu, dan andaikata ranting itu pernah begitu bodoh dan congkak untuk menempuh jalannya sendiri, terlepas dari pokok itu, niscaya pengalaman akan lepas mengajarnya (Yoh 15: 4-5). Tetapi mamang adalah getah yang sama, hidup yang sama yang mengalir melalui pokok-pokok ranting. Kaum mistikus sering melukiskan persatuan antara Allah dan menusia dengan gambaran besi yang menjadi api sendiri. Nah, di mana api itu, di mana besi itu?
B KEPRIBADIAN DALAM MENURUT PERJANJIAN BARU
Yohanes dan Paulus sadar sekali atas keperibadian yang sebenarnya.”Mereka itu diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keingingan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1: 13). Paulus tidak pernah menulis kepada para ‘pendosa’ di Korintus, Roma atau Efesus, tetapi selalu kepada ‘orang-orang kudus”. Ia suka dan sering berbicara tentang surat-surat bukti kebangsawanan orang Kristen. “Kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang” (Ef 5: 8). Kamu adalah ‘ciptaan baru’ (2 Kor 5: 17). “tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan Roh Allah diam di dalam kamu” (2 Kor 5: 17). “tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan Roh Allah diam di ddalam kamu” (2 Kor 5: 17). “tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan Roh Allah diam di dalam kamu” (2 Kor 6: 16). “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, yaitu ahli waris dari Allah bersama-sama dengan Kristus” (Rom 8: 17). “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang melainkan kawan sewarga dan orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Ef 2: 19). “Di ddalam Kristus kamu juga turut dibangunkan menjadi tempatkediaman Allah, di dalam Roh” (Ef 2: 22). Paulus tidak mencetak rasa rendah diri dalam hati saudar-saudarinya seiman. Mereka bukan cacing yang melata di atas tanah, mereka tidak usah menangisi dosa mereka terus-menerus. Mereka harus sadar, bahwa mereka “berasal dari keturuanan Allah” (Kis 17: 29) dan “mempunyai bagian dalam kodrat ilahi” (1 Ptr 1: 4).
Sayangnya, kita terlampau mengurung kekudusan di dalam suasana moral. Kata ‘kekudusan’ kita sediakan untuk orang-orang yang menonjol karena keutamaan kepahlawanan. Rasa-rasanya berani condong menuntut kekudusan. Tetapi kekudusan yang lebih sial ‘ada’ daripada ‘berbuat’. Kekudusan menyangkut hakekat kita yang terdalam. Jika kita berhasil bertingkah-laku sebagai orang kudus, maka hal itu justru karena kita tidak memandang diri kita sebagai orang kudus. “Kamu ada, sebab itu hiduplah” (Ef 5: 8). Maka kekudusan bagi kita harus menjadi titik tolak kita, jauh lebih daripada tujuan kita. Jika kita menempuh hidup dengan keyakinan “Aku ini dilahirkan dari Allah”, niscaya akan lain tingkah laku kita. Kita pun akan memandang sesama manusia dengan mata yang diperbaharui, sebab kita akan mengenal kembali hidup Ilahi itu dalam semua orang. Dan bahkan barang-barang pun akan kita hadapi dengan cara baru, sebab mereka mewujudkan hidup yang sama sumbenya. Dunia kiranya akan menjadi Bait Allah, hidup ini akan menjadi satu Litrugi besar.
Ada perbedaan dasar antara kesombongan dan kebanggaan. Orang-orang sombong mengira, bahwa ia menganggap mampu dari dirinya sendiri; ia membuat dirinya menjadi awal dan akhir dari segala-galanya. Sebaliknya kebanggaan adalah rasa harga diri yang sah, orang tahu dan mengakui, bahwa ia telah menapat sesuatu yang berharga dan bersyukur atannya. Contoh pribadi dengan kebanggan terindah adalah Maria ibu Yesus; ia mengakui bahwa terjadi ‘hal-hal yang besar’ padanya, tetapi adalah “Yang Mahakuasa” yang telah melakukannya, dan “kuduslah NamaNya” (Luk 1: 49).
Tiap-tiap kali kita mesti kembali lagi ke prespektif yang tak berhingga ini, apa kita ini sesungguhnya, tidak terbaca pada surat tanda pengenal kita. Keberadaan kita yang terdalam dinyatakan oleh nama baru yang terukir pada batu putih (Why 2: 17) dan nama ini adalah selalu bentuk lain dari nama Yesus. Seorang rekan tua pernah memberikan nasehat kepada saya, untuk pagi-pagi waktu bangun segera mentahtakan Sakramen Mahakudus di dalam hati saya dan menghabiskan sepanjang hari dalam “adorasi terus-menerus”. Ya mengapa tidak membayangkan, bahwa Allah telah membangunkan Bait Allah di dalam lubuk hati kita, sebuah kapel tempat Kristus hadir, gudang anggur batin.
[5} Di mana Sang Kekasih diam dan di mana kita boleh minum daripadaNya, jelasnya di mana kita menjadi satu dengan Dia? Dari kedalaman hati kita akan mengalir aliran-aliran air hidup (Yoh 7: 38). Dalam lubuk hati kita memancar sumber dengan tak kunjung putus. Apabila maria di Laurdes menyuruh Bernadette untuk dengan tangannya menggali lubang kecil di dalam pasir dan dengan itu membukakan sumber yang tersembunyi, maka hal itu tidak begitu aneh, sebagaimana tampaknya sepintas lalu. Maria memberi kita semacam pola dasar. ?Sumber itu sudah ada, tetapi orang tidak mengetahuinya (bdk. Kej 28: 16). Adalah tugas kita untuk menggali pada tanah keberadaan kita, sehingga sumber itu terbuka dan dapat mengalir tanpa rintangan.
C CINTAKASIH SESEORANG ADALAH ADANYA ORANG ITU SENDIRI
Cintakasih tidak dapat disebut, tidak dapat dimiliki, tidak dapat dikuasai. Cintakasih seseorang adalah adanya orang itu sendiri, cintakasih amat dalam di dalam dirinya sendiri. Orang tidak usah mencarinya, tetapi cintakasih selalu dapat ditemukan. Dan siapa yang menemukan cintakasih dalam dirinya sendiri, serta-merta menemukannya juga dalam semua lainnya. Orang membungkuk dalam-dalam di depan sesama manusia, sebagaimana Bapa, Putera, dan Roh Kudus membungkut (menhormati) satu sama lain. Siapa yang telah menemukan cintakasih dalam dirinya sendiri, tidak dadpat mencintai sesuatu selain ‘cintakasih’. Apa yang dicintainya pada orang lain bukanlah tubuh yang elok, kecerdasan yang cemerlang atau watak yang menyenangkan. Mencintai hal-hal itu pada sesama orang sebenarnya malahan melukai hatinya; orang meurunkan derajat orang lain, karena mengembalikan orang lain menjadi sifat, yang mungkin pudar atau lenyap sama sekali bilamana orang itu menjadi tua. Cintakasih sejati mencintai ‘cintakasih’ pada orang lain, sebab cintakasihlah merupakan nilainya. Demikian pun orang menemukan pula sukacita sejati. Sukacita sejati ialah bahwasanya orang mengenalai kembali cintakasih pada orang lain, membangkitkannya, membentuk untuk menyadarinya lebih dalam. Demikian terjadilah ikatan-ikatan cintakasih yang kokoh, tak terpatahkan antara orang-orang, ikatan-ikatan yang tidak mengikat tetapi membebaskannya.
Bahwasanya kita di dalam kedalaman kita adalah cintakasih akan Allah, maka seluruh perkembangan kita berupa kembali lagi ke sumber itu. Di sana kita sehat. Di sana kita adalah citra Allah. Dosa betul telah melukai kita, tetapi tidak dapat merusak kita sama sekali (karena kita dalam Cintakasih Yesus). Luka-luka kita terletak dalam kenyataan bahwa kita tidak lagi hidup di dalam dan dri pusat kita, ya, dosa kita terletak pada penyangkalan kodrat kita yang terdalam. Dalam kiasan St. Theresia dari Avila: kita hidup pada pintu bentneng batiniah. Di situ berkerumun banyak ular berbisa. Tetapi di pusat benteng, di dalam kediaman yang ketujuh, semuanya adalah murni. Allah diam di pusat jiwa kita, tak peduli apa kita berkelakuan baik atau buruk. Tidak pernah kita akan kehilangan Dia, bahkan oleh dosa terberat. “Orang hendaknya ingat”, tulis Theresia Avila, “bahwa sumber itu, matahari yang bersinar itu, yang berada di pusat jiwa, tidak kehilangan kilau dan keindahannya. Ia selalu ada. Tiada sesuatu pun dapat merampas keindahan itu daripadanya, tetapi jelaslah, jika orang melemparkan kain gelap di atas hablur (benda mulia yang bersinar), yang terbuka pada sinar matahari, sinar-sinar itu tidak akan ada pengaruhnya pada hablur itu”.
[6] Setiap orang yang sedikit banyak mempunyai pengalaman samadi dan doa, tahu bahwa pusat di dalam kedalaman itu sudah selalu ada. Pada saat-saat rahmat orang melihat sepintas dari terang itu. Tetapi orang belum dapat menetap secara definitive. Maka soalnya ialah untuk kitan hari kian dalam menembus ke dalam diri sendiri kian dekat pusatnya. “Apabila orang mengupas bawang”, tulis seorang Bapa Gereja Timur, “maka lapisan demi lapisan dibuang sampai bagian terdalam dari bawang itu terbuka sama sekali. Nah, di situ, di dalam batinmu sendiri, engkau akan melihat surga, sebab kedua-duanya sama”.
[7] Ingat ---- Manusia harus diingatkan senantiasa kepada martabatnya sendiri yang tinggi, ia harus mengingat-ingat lagi Firdaus yang hilang itu. St. Agustinus (354-430) melukiskan perkembangan rohani sebagai suatu ingatan yang bertahap, menurut dia, seperti dalam manusia bersesuaian dengan Bapa dalam Tritunggal Kudus. Sebagaimana Bapa adalah asal kehidupan Ilahi, demikian pun daya ingatan adalah asal kehidupan rohani manusia, sudah barang tentu yang dimaksudkan di sini bukanlah daya ingatan empiris (yang berdasarkan pengalaman) yang mengumpulkan dan menyimpan kesan-kesan dan pengalaman-pengalaman kehidupan, tetapi daya ingatan metafisis, yang menyimpan apa yang pada waktu penciptaan telah kita terima langsung dari Allah. Dalam ‘confessiones” (buku pengakuan) Agustinus menulis dengan semangat yang menyala tentang kekuatan ajaib dari kedalaman tak terhingga dari ‘memoria’ ini.
[8] Mengapa gerangan daya ingatan / anamnesis ini berfungsi sebagai dasar jiwa? Agustinus selaku pengikut aliran Neo Platonisme yang amat diilhami Plato (429 – 347 SM) lama mengira, bahwa semua hidup rohani berakar dalam ingatan (anamnesis). Menurut dia dasar asal dari segala sesuatu yang kelihatan dan segala pengetahuan insani terletak dalam pengertian-pengertian itu. Keterangan hanya dapat terletak dalam kenyataan, bahwa ia telah memandang pengertian-pengertian di dalam hidup yang terdahulu. Manusia telah menyimpan kesan-kesan tertentu dari pengertian-pengertian itu dalam ‘daya ingatan’ maka pengertian-pengertian itu disadari kembali dengan jelas”.
Meskipun Agustinus tidak percaya akan hidup terdahulu, namun dipahaminya bahwa dengan ajarannya tentang pengertian-pengertian yang terlupakan itu Plato tokh mengatakan sesuatu yang hakiki. Oleh karena manusia diciptakan menurut citra Allah, pertama-tama menurut citra Putera, maka seperti Putera iapun menurut kodratnya adalah ‘pros ton theon’ terarah kepada Allah (Yoh 1: 1). Hakekat terdalamnya berupa aliran, aliran yang hendak bermuara ke dalam laut. Agustinus merumuskan itu dengan perkataan yang tersohor ini, “Engkau telah membuat kami untukMu, dan hati kami tetap gelisah selama hati kami belum beristirahat dalam Dikau”.
[9] Manusia diciptakan sebagai kegandrungan kepada Allah. Nah, kegandrungan yang pembawaan ini sedikit banyak terlupakan, tetapi oleh karena kegandrungan pembawaan ini merupakan kodrat manusia, maka tak dapat ia hilang sama sekali. Orang dapat berusaha mendesaknya, tetapi jauh di dalam bawah-sadar keinginan akan Allah itu hidup terus. Keinginan asali itu membuat segala usaha untuk menggantinya bukan hanya sebelum pasti menemui kegagalan, tetapi juga menjadi sebab keterbelahan batiniah, karena dengan cara itu oaring yang menyangkal dan menggeser kodratnya yang terdalam. Dalam daya ingatan yang begitu keterarahan asli dan dasar kepada Allah menempuh hidup setengah tertidur. Keterarahan yang sejak permulaan ditaruh Allah sebagai pembawaan itu sendiri adalah ilahi, addalah penyertaan dalam hidup Tritunggal Kudus, di mana ketiga Pribadi saling memberikan diri tanpa syarat.
[10] Kisah Firdaus melukiskan manusia asli sebagai makhluk, yang berkat pergaulan mesra dengan Allah, berada dalam keselarasan sepenuhnya. Di situ dilukiskan daya ingatan terdalam manusia. Sesungguhnya Kitab Suci dalam keseluruhannya dapat dinamakan daya ingatan manusia yang terdalam. Dalam Kitab Suci dikatakan dengan jelas dan tegas apa yang terpendam dalam setiap manusia dan dibangkitkan ingatan-ingatan yang setengah tidur. Manusia diciptakan untuk diangkat ke dalam persekutuan dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ada tempat lowong di meja perjamuan. Manusia harus setiap kali sadar kembali, ingat senantiasa, bahwa ia diciptakan untuk Firdaus.
Seorang rahib tak terkenal dari abad pertengahan menulis dalam renungan tenang sengsara dan kebangkitan Kristus, “Hai wanita, mengapa engkau menangis? Siapa yang kau cari? Yang kaucari ada sebagai milikmu, masakan engkau tidak mengetahuinya? Engkau memiliki sukacita yang sejati dan kekal, masakan engkau menangis? Itu ada di dalam batinmu, dan engkau mencari itu di luar. Engkau berdiri di luar dan menangis di depan makam. Hatimu adalah makam hidup selama-lamanya. Jiwamu adalah kebunKu. Engkau benar, ketika kau kira Aku ini tukang kebun. Aku adalah Adam yang baru. Aku menjaga dan mengolah FirdausKu. Air matamu, cintamu ddan kerinduanmu, semuanya itu adalah perkerjaanKu, engkau memiliki Aku dalam lubuk hatimu, tanpa kau ketahui, karena itu engkau mencari Aku di luar. Jadi, Aku akan menampakkan diriKu di luar kepadamu dan mengembalikan engkau kepada dirimu sendiri, untuk membuat engkau menemukan di dalam batinmu siapa yang kau cari di luar”.
[11] Dengan perkataan ini diringkasnya arti dalam dari campur tangan Allah di dalam sejarah: manusia mencari Allah di luar dan Allah datang menyonsong manusia pada tarafnya sendiri, yaitu di luar, untuk membawanya kembali ke dalam batinnya. Kita membawa Firdaus di dalam kita. Baptis adalah ‘ingatan’ besar, atau setidak-tidaknya langkah yang menentukan ke arah ingatan itu. Di situ pada pokoknya meninggalkan kepribadian yang dangkal dan kembali kepada manusia batin, yang diciptakan menurut citra Allah.
D CINTAKASIH MELENYAPKAN KETAKUTAN (1 Yoh 4: 18)
Siapa yang mengenal cintakasih sebagai hakekatnya yang sesungguhnya, tak akan takut kehilangan itu, tak takut akan dilukai oleh orang lain. Oh, ketakutan yang kita semua kenal, kalau-kalau orang lain akan merintangi kita untuk mengembangkan kepribadian kita. Cintakasih kita tidak dapat dirampas dari kita oleh siapapun juga. Ungkapan ‘cintakasihku’ bertentangan dengan dirinya sendiri; cintakasih tidak mengenal ‘mu’ atau ‘ku’. Siapa yang takut akan kehilangan kepribadiannya dan meleburkan diri dalam cintakasih, hanya ingat akan kepribadiannya dalam kategori-kategori cintakasih. Dan hanya itulah yang relevan. Ini berlaku pula bagi ketakutan akan kematian. Orang tidak dapat berbicara lagi tentang kematian, apabila orang telah memahami apa kehidupan itu. Bagi siapa yang mengenal kehidupan, tidak ada kematian. ‘Setiap orang yang hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya’ (Yoh 11: 26).
Satu-satunya yang penting adalah menemukan hidup itu. Bilamana orang telah menemukan hidup, maka persoalan kematian sudah juga terpecahkan. Kematian lalu menjadi kemustahilan. St. Agustinus mengatakan, bahwa yang jahat tidak mempunyai kenyataan metafisik: yang jahat adalah kekurangan yang ada. Sebab yang jahat kan tidak datang dari Allah, tetapi dari setan, dan setan tidak mampu menciptakan kenyataan, setan hanya dapat memutar-balikkan dan menyalah-gunakan kenyataan. Setan adalah pendusta (Yoh 8: 44). Demikianpun kematian adalah juga ketiadaan keberadaan. Kematian bukanlah bertentangan dengan kehidupan. Apa yang ada adalah kehidupan, kedamaian dan sukacita. Tetapi orang dapat menjauhkan diri dari kehidupan, atau tepatnya orang dapat menolak menatap kehidupan; orang dapat memejamkan matanya dan mengatakan, bahwa semuanya gelap. Kiranya cukup membuka matanya untuk mendapatkan, bahwa semuanya adalah terang. Orang dapat bermain burung unta (merasa sudah sembunyi hanya dengan memasukkan kepalanya saja ke dalam pasir sementara badannya masih di luar dan terlihat jelas oleh yang lain). Sudah selangkah lebih maju, apabila orang mulai tahu akan permainan itu. Lalu orang tahu juga, di mana letak sebabnya, apabilasemuanya kelihatan gelap. Kenyataan, yaitu substansi dari segala sesuatu yang ada, adalah terang. “Aku ini terang dunia”, sabda Yesus, “barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan melainkan akan mempunyai terang hidup” (Yoh 8: 12).
E ORANG-ORANG BUKAN KRISTIANI
Kita orang Kristiani jangan membayangkan, bahwa Kristus kepunyaan kita semata-mata. Kristus telah menerakan meteraiNya pada semua orang, sebab semua diciptakan menurut citraNya (Kol 1: 15-17). KehidupanNya mengalir di dalam dan lewat semua. Dalam hal ini kita lagi-lagi dapat belajar pada St. Agustinus. Dalam bukunya ‘Du vero religione’ ia menulis, ‘agama yang benar di masa kita adalah agama Kristiani. Mengenal dan mengikuti agamaini adalah keselamatan yang paling aman dan pasti’.
[12] Ketika ia pada akhir hidupnya menulis ‘Retractatianes’ (Penarikan Kembali), buku dalam mana ia menjelajahi karya-karyanya yang terdahulu dan sambil melengkapi dan mengoreksi apa yang diungkapkannya kurang jelas, maka berkenaan dengan kutipan itu ia menulis, ‘ini dikatakan mengingat nama (agama itu sekarang) dan bukan berkenaan dengan hal itu sendiri, yang dinamakan demikian. Sebab kenyataan itu sendiri (res ispa), yang sekarang kita namakan agama Kristiani, sudah ada pada leluhur kita, dan tidak pernah tidak ada sejak permulaan terjadinya bangsa manusia, hingga hari Kristus nampak dalam daging, pada hari itu agama benar, yang sebelumnya sudah ada, menerima nama agama kristiani. Sebab ketika para rasul mulai mewartakan Dia (yaitu Kristus) sesudah kebangkitan dan kenaikanNya dan banyak orang percaya kepadaNya, maka pengikut-pengikutNya untuk pertama kalinya dinamakan orang-orang ‘kristen’ / kristiani seperti ada tertulis dalam Kis 11: 26. Karena itu kukatakan: ini di masa kita adalah agama Kristiani. Bukan karena agama dahulu tidak ada, tetapi ia baru mendapat nama itu.
[13] Agustinus tidak menyangkal, bahwa Gereja Kristus adalah jalan yang paling pasti dan aman ke keselamatan, tetapi ditekankannya, bahwa sudah sebelum pendirian Gereja, Allah sudah sibuk untuk menyelamatkan bangsa manusia. ‘Hal itu sendiri’ sudah ada pada awal mula apa yang dahulu tersembunyi.
[14] Konsili Vatikan II memperkuat ‘pandangan terbuka’ dari Gereja tsb. Demikian konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia menulis, ‘dalam keterikatan dengan misteri Paskah dan serupa dengan kematian Kristus dan teguh dalam pengharapn, orang Kristiani bergegas-gegas menyambut kebangkitan. Ini tidak hanya berlaku untuk orang beriman Kristiani, tetapi juga untuk orang-orang berkehendak baik, yang di dalam hatinya rahmat berkarya secara tak kelihatan. Karena Kristus wafat bagi semua (Rom 8: 32) dan karena bagi semua orang hanya ada saudara, panggilan terakhir saja, yaitu penggilan Ilahi, maka kita harus mengukuhi, bahwa Roh Kudus memberi semua orang kesempatan untuk dengan cara yang hanya diketahui Allah,mendapat bagian dalam misteri Paskah. Begitu besar misteri manusia ini, yang oleh wahyu Kristiani terbentang di depan mata kaum beriman”.
[15] Bagaimana pun jua Kristus ada di situ, entah orang mengakui Dia atau tidak. Kita harus berlajar memandang rahmat sebagai sesuatu yang menyangkut kodrat terdalam manusia, dan bukan sebagai sesuatu yang ditambahkan pada kodrat itu. Ini meminta pada gilirannya pandangan yang diperbaharui atas penciptaan. Allah menciptakan manusia dalam keadaan adikodrati. Terutama para Bapa Gereja Yunani menandaskan, bahwa apa yang dalam teologi dinamakan ‘gratia increata’ (rahmat yang tidak diciptakan), yakni Allah sendiri diberikan di dalam dan oleh faal penciptaan. Tidak demikianlah adanya, bahwa pada saat pertama manusia diciptakan, untuk kemudian, pada saat kedua, diangkat oleh rahmat kepada tata adikodrati. Rahmat terletak dalam kodrat itu sendiri. Kiranya dapat dikatakan bahwa termasuk kodrat kita ialah menjadi adikodrati. Hidup yang mengalir di seluruh diri kita adalah hidup ilahi. Hakekat rahmat terletak pertama-tama pada kenyataan, bahwa kita ini ada.
Jauh di dalam manusia, di dalam setiap manusia, memancar sumber, yaitu Kristus adanya. Banyak orang tidak menduga adanya itu. Sebaliknya orang Kristiani sadar akan sumber itu. Hidup Kristus, yang terpancar di dalam hati setiap orang, tidak menginginkan sesuatu lainnya dari mengaliri seluruh keberadaannya, pikirannya, perasaan dan perbuatannya, bahkan tubuhnya. Bilamana mengenal orang Kristiani, maka ini adalah kejadian yang wajar dan berlangsung dengan sendirinya. Mereka tahu bahwa hidup mereka yang sebenarnya adalah Kristus dan mereka dapat membuat sumber, yang tersembunyi di dalam manusia,mengalir dengan bebas tanpa rintangan. Segala manusia adalah anak-anak Allah.membiarkan dirinya dibaptisberarti: sekarang aku tahu, dan sekarang aku mendapatkan kekuatan juga untuk selanjutnya mengatur hidupku selaras dengannya.
Bagi setiap manusia benarlah adanya, bahwa hidup terdalmnya adalah Kristus bukan seakan-akan ia persis sama dengan Kristus. Ia ada dalam Kristus seperti ranting pada pokok anggur. Bagaimanapun jua ia adalah lebih Kristus dari pada kepribadian kecil, untuk mana ia menamakan dirinya, apabila ia dengan ibu jarinya menunjuk adanya sambil berkata, ‘Aku’. Akhirnya hanya orang Kristiani dapat memberikan jawab yang memadai atas pertanyaan “manusia siapakah engkau?” karena Kristus adalah Putera manusia, tidak mungkinlah orang melukiskan manusia tanpa menunjuk kepada Kristus. Antropologi yang baik tidak dapat tidak mengandaikan Kristologi.
Apabila teologi lama mengajarkan, bahwa manusia pada waktu dibaptis, menerima rahmat pengudusan dan Allah dalam pada itu menaruh kediamanNya di dalam jiwa, maka maksudnya bukanlah sebelum dibaptis Allah tidak hadir. Thomas Aquinas menerangkan, bahwa pada baptis itu tidak terjadi perubahan pada Allah: Ia mulai sadar, bahwa ia tidak sendirian, ia mulai mengenal Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Demikianlah ia membuat jiwanya menjadi ‘rumah’ bagi Tritunggal Kudus dan oleh karenanya dapat dikatakan, bahwa ketiga pribadi ilahi sekarang baru benar-benar ‘diam’ dalam dia. Dahulu cintakasih datang dari satu pihak, dari Allah, sekarang dari kedua belah pihak, Allah dan manusia.
[16] Pengalaman kaum mistik mengukuhkan pengertian teologis ini. Dalam doa persatuan Theresia dari Avila mengalami kehadiran Allah. Sungguh menarik perhatiannya bahwa kehadiran Allah itu bukanlah sesuatu yang baru. Seakan-akan jiwa setelah lama hidup dalam kesunyian, tiba-tiba mendapat kunjungan Allah. Apa yang dialami Theresia adalah kehadiran lama, yang selalu ada sebelum Theresia dibaptis. Secara ajaib dirasanya, bahwa kehadiran ini bukanlah hak istimewa, yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup dalam ‘keadaan berahmat’. Kehadiran itu dialaminya sebagai akibat dari penciptaan.
Anehnya, Theresia sendiri tidak mempunyai pengetahuan teoritis tentang kehadiran yang menciptakan itu. Tadinya dikiranya bahwa Allah hadir dalam manusia hanya berdasarkan rahmat. Pengalaman itu membawanya kepada pengertian yang lebih dalam. Ditulisnya, ‘Aku mengenal seseorang (ia berbicara tentang dirinya sendiri), yang tidak pernah belajar, bahwa Allah ada dalam segala sesuatu karena kehadiran, kekuatan, dan hakekatNya, dan yang sesudah anugerah semacam itu, ia diberikan oleh Allah kepadanya, lalu percaya dengan begitu teguhnya, sehingga – ketika ia bertanya kepda salah seorang setengah ahli, yang kubicarakan, bagaimana Allah ada dalam kita – orang itu tidak lebih tahu dari pada dia sebelum Allah membuat dia memahaminya – dan orang itu menjawab, bahwa Tuhan hadir hanya dengan rahmatNya – ia begitu tegah dalam kebenaran itu, sampai ia tidak percaya akan hal itu. Lalu ia bertanya kepada orang-orang lain, yang mengatakan kebenaran itu kepadanya, dan baginya hal ini merupakan tambahan semangat besar”.
[17] Neurose dasar. Neurose-neurose (sakit syaraf) lama, yang diperkenalkan Freud dan murid-muridnya dan yang mendapatkan dasarnya dalam pendesakan naluri-naluri, kian hari kian menyerahkan tempatnya kepada neurose lebih dalam, yang berakar pada kenyataan, bahwa manusia tidak ada hubungannya lagi dengan taraf transenden kodratnya. Keterasingan ini menerjunkan dia ke dalam tubir ketiada-artian dan kesepian. Mendesak Roh tidak dapat tidak menyeret orang kepada melankoli (kemurungan), kata Kierkegaard (1813- 1855).
Dalam hal ini psikologi tidak berdaya. Tiada aliran psikologi dapat menyediakan resep untuk menumbuhkan neurose dasar kita, yang membuat kita berada di samping kodrat kita yang sebenarnya, apabila orang berhasil menggantikan klise-klise tertentudengan yang lain-lain, betul hidup dapat kelihatan lebih menyenangkan. Bagi siapa yang menganggap dirinya sebagai makhluk yang mengerikan, memang adalah peringanan beban, kalau ia lambat laun menemukan, bahwa kendati semuanya itu tokh tidak memberikan kesan yang begitu ganjil. Sudah barang tentu tidak da salahnya nampak cukup sopan, seperti juga tidak ada salahnya pergi ke dokter gigi, kalau giginya sakit. Tetapi hal itu tidak memecahkan persoalan dasar. Sebab nampak sopan, seperti juga nampak mengerikan, adalah sama-sama di samping kebenaran. Orang tetap tertambat pada keterbatasannya. Mula-mula orang terikat dengan rantai besi dan sekarang dengan rantai emas. Rantai emas memang lebih bagus, tetapi lebih merampas kebebasan dari manusia, sebagaimana juga halnya dengan rantai besi.
[18] Persoalan yang terdalam itu baru terpecahkan, bilamana orang menemukan: ‘Bagiku hidup adalah Kristus’ (Flp 1: 4). “Aku sendiri tidak lagi hidup, melainkan Kristus hidup dalam aku” (Gal 2: 20). “Aku” dari anda yang terdalam adalah cintakasih, cintakasih Ilahi. Hanya dalam cintakasih ini anda adalah diri anda sendiri. Selama anda tetap bersembunyi di belakang tembok, anda belum sampai kepada kehidupan yang sebenarnya. Manusia, yang hidup dari dalam kepribadian buatannya, dari dalam suasana hatinya, kecemasan yang satu ke pengganti yang lain, selalu mencari sesuatu yang baru. Tetapi kalau ia membiarkan yang terdalam dalam dirinya sendiri tergugah, atau sebaliknya, kalau ia menyelam kedalamnya dan bangun di sana, ciscaya kepribadian semuanya mulai goyah, kian hari kian hebat, sampai akhirnya roboh seluruh bangunan itu. Baru kalau kita hidup dari dalam cintakasih yang merupakan ada kita yang sejati, maka kita adalah seluruhnya diri kita sendiri, dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.
BEBERAPA PERTANYAAN
Pertanyaan 1: Jika kepribadian dalam diri manusia itu berupa kehidupan Allah di dalamnya, bagaimana mungkin ada perbedaan antara berbagai-bagai manusia? Di mana letaknya keaslian manusia, jika seitap orang dapat berkata tentang dirinya sendiri, ‘Aku sendiri tidak lagi hidup, tetapi Kristuslah yang hidup dalam aku” ?
Kita sekalian dipenuhi dengan kehidupan yang sama. Ini berarti,bahwa kita terikat satu sama lain jauh lebih mesra dari pada yang biasanyakita perkirakan.Bersama-sama kita merupakan organisme yang besar, tubuh bangsa manusia, inilah Tubuh Kristus, Tuhan yang telah bangkit. “Kamu adalah Tubuh Kristus” (1Kor 12: 27), “yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu” (Ef 1: 23). Dari Dia, tubuh mendapat daya tumbuhnya dan dibangun dalam cintakasih. Tiap-tiap anggota membantu sekedar kekuatan yang diberikan kepdanya menurut ukurannya, untuk mengikat tubuh itu menjadi satu (Ef 4:16). Kita semua masing-masing adalah anggotanya. Setiap orang mendapattempatnya sendiri yang tidak dapat digantikan dalam tubuh raksasa itu.Setiap anggota mempunyai tugasnya sendiri-sendiri. Pentinglah, bahwa setiap orang menganggap dirinya tunggal mutlak. Sekali orang menginsyafi, bahwa ia mempunyai tugas yang tidak dapat digantikan, di dalam keseluruhan itu, maka dengan sendirinya orang akan berhenti untuk membanding-bandingkan, bersaing dan menilai orang lain dengan kata-kata kurang atau lebih.
Tetapi keaslian ini menjadi hak kepribadian yang dalam. Kepribadian yang dangkal mempunyai bagian dalam keaslian ini, sekedar kepribadian yang dangkal itu ada dalam keselarasan dengan kepribadian yang dalam – kalau tidak – ia hanya akan merupakan suatu nomor di antara pruduksi besar-besaran. Bahwa semua manusia dipenuhi dengan terang Ilahi yang sama, tidak mengubah keasliannya. Setiap orang adalah suatu prisma yang memecahkan sinar terang dengan caranya sendiri. Setiap orang adalah ranting pada pokok anggur. Tidak ada dua ranting yang persis sama. Ada sukacita khusus dalam saling perjumpaan pada taraf mendalam. Orang mengenali dalam orang lain ada terang yang sama, namun adalah tunggal sepenuhnya.
Pertanyaan 2: Apakah tidak ada bahaya, bahwa orang lalu tidak berpijak lagi dengan kedua kalinya di tanah? Tidak mungkinkah hidup pada taraf kepribadian dalam yang sebenarnya itu berupa pelarian dari kenyataan, setidak-tidaknya dari kenyataan konkret sehari-hari?
Tidak. Tidak ada risiko, bahwa orang lalu bekerja kurang giat atau menilai kurang pentingnya kerja itu. Sebaliknya. Kaum mistik sering menekankan bahwa kesibukan yang terkecil pun adalah penting dan harus dilakukan dengan seksama. Sebab adalah tugas kita di dunia ini untuk menjadi tangan Allah. Kenyataan, bahwa kita boleh turut serta bekerja dengan Sang Pencipta, memberikan kepada kerja suatu dimensi baru. Juga hal yang kecil-kecil kini kita lakukan dengan cintakasih besar. Hal yang kecil-kecil itu laksana tata perayaan cintakasih: dalam dan oleh karena hal yang kecil-kecil itu cintakaih mendapat ungkapan konkret. “Siapa yang melakukan hal yang kecil-kecil seakan-akan besar, akan melakukan hal yang besar-besar seakan-akan itu kecil” (Pascal 1623-1662). Jelasnya, semuanya adalah besar. Tetapi semuanya adalah juga kecil, dalam artian, bahwasanya orang tidak pernah dapat menbanggakan sesuatu pun. Orang hanyalah alat di tangan Tuhan.
Dalam masa peralihan, orang kadang-kadang memang dapat merasa agak kikuk dan kurang sesuai dengan cara kerja dan irama ‘dunia’; orang mudah lupa dan sukar memusatkan diri pada pekerjaan. Orang dapat saja mempunyai kerinduan besar ke surga dan hidup di dunia ini. Hidup di dunia ini lalu berlangsung lebih mudah dan lebih spontan, karena tidak dirintangi lagi oleh ketakutan, kecemasan, agresivitas, kemasalan. Aku yang dangkal ini kini tidak bekerja lagi untuk dirinya sendiri, tetapi melayani aku sejati yang dalam, melayani cintakasih. Maka terjadilah keselarasan antara yang batin dan yang lahir, antara yang inti dan tepian. Ini terjadi sebagaimana disyairkan St. Yohanes dari Salib, ; ‘Pelayananku hanya tinggal mencintai saja’.
[19] Orang lalu menjadi bentara cintakasih, rasul, suara yang berseru-seru di padang gurun (Yoh 1: 23). Suatu suara, dan tidak lebih dari itu. Mikrofon Allah. Demikianlah orang menjadi ‘pribadi’ dalam arti kata yang sepenuh-penuhnya: orang melengking (personare, berarti: melengking, menggema).
[20] Atau tepatnya: Allah melengking dan menggema dalam manusia. Manusia disatupadukan dalam tubuh mistik Kristus. Kristus sendiri disatupadukan dalam Allah, menurut teks agung St. Paulus: ‘Kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Putera akan menaklukkan diriNya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawahNya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua (2 Kor 15: 28).
============================================================
Pernah dipakai untuk bahan retret di Wonosobo, Juni 2011