Renungan menghayati Ekaristi
LAKUKANLAH INI SEBAGAI KENANGAN AKAN DAKU 
J. Adi Wardaya SJ
MERAYAKAN EKARISTI

Istilah perayaan ekaristi dimaksudkan untuk menggaris-bawahi asal-usul umat yang merayakan ekaristi. Ketika umat berkumpul untuk beribadah, mereka menyadari bahwa mereka bersama adalah suatu paguyuban atas nama Jesus. Maka perkumpulan mereka mempunyai tujuan untuk mengenangNya. Dia hadir dalam perjumpaan dan terlibat dalam memecahkan roti dan minum bersama dengan yang hadir, dan secara khusus dengan mereka yang tersingkir dan tersung­kur, yang terjajah dan melarat (Hellwig, 57).

Oleh karena itu mereka dituntut untuk berbuat yang sama terhadap sesama (Kis.2:41-47). Melalui ekaristi mereka menyatakan identifikasi diri sebagai komunitas yang berbagi dan yang melayani sesama. Mereka menyadari bahwa dengan pelayanan terha­dap sesama (bukan melalui doa bersama, membangun kemesraan paguyuban iman dan sibuk mengurus diri sendiri) Jesus akan dikenali bahwa Dia hidup bersama manusia demi keselamatan dunia. Ekaristi harus merupakan titik tolak untuk mewujudkan sisi lain dari pewartaan Injil, yakni membangun bumi dan langit baru (Grassi, 93).

Semula istilah Gereja berarti sekumpulan orang, yang sadar bahwa mereka dipersatukan dengan Jesus. Keyakinan ini pelan-pelan bergeser dan Gereja lebih dimengerti sebagai organisasi. Hilang­nya kesadaran ‘menjadi Gereja’ memerosotkan pelak­sanaan sakramen, sehingga komuni sebagai ‘aksi bersama untuk berbagi’ digeser oleh konsekrasi sebagai saat yang keramat. Seluruh ekaristi tidak lagi menjadi aksi seluruh umat untuk menjawab kebutuhan sesama, melainkan menjadi sesuatu yang dilakukan imam bagi umat.
Karena sakramen adalah ‘sesuatu’ maka dengan rajin mereka berkumpul di gedung gereja untuk berebut ‘sesuatu’ itu. Peralihan pengertian itu membawa akibat
bahwa sekarang dalam ekaristi berkum­pul ‘penganggur dengan mentalitas pasif’ yang menanti saat ajaib dan ‘pengemis dengan mentalitas hanya mau menerima’ yang menunggu pembagian rah­mat. Sebaliknya Gereja Purba yakin bahwa perseku­tuan umat beriman adalah pelaku dan pemeran pe­rayaan. 


Perubahan pandangan di atas sangat jelas dalam pandangan umat mengenai kata-kata konsekrasi. Dalam Doa Syukur Agung terdapat sebuah cerita mengenai perjamuan terakhir. Cerita ini ditempatkan di situ dengan maksud untuk mengungkap­kan alasan mengapa umat bersyukur dengan cara memecahkan roti dan minum bersama. Cerita itu ditujukan kepada orang yang mau terlibat guna melak­sanakan perintah Jesus.
Namun semenjak hilangnya kesadaran menjadi Gereja dan berubah menjadi organisasi, serta kemerosotan kesadaran menjadi pelaku perayaan dan berubah menjadi penerima dalam perayaan, maka cerita itu juga berubah menjadi: kata-kata konsekrasi yang diucapkan imam dan ditujukan kepada benda, yakni roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda atau obyek yang diterima oleh umat.

Kalau ditanya : “Apa simbol utama ekaristi?”, maka akan segera dijawab roti dan anggur. Roti dan anggur adalah benda sakramen, sedangkan kata-kata konsekrasi adalah bentuk sakramen, namun keduanya bukan simbol sakramen ekaristi. Simbol yang asli dan benar adalah "perbuatan memecahkan roti dan mengedarkan piala". (Grassi, 87-88)
Sekarang ini kita sangat dipengaruhi oleh mentalitas abad pertengahan diatas, sehingga kita mengalami kesukaran untuk merasakan cerita perjamuan terakhir. Sabda Jesus: "Inilah tubuhKu" telah berabad-abad hanya dihubungkan dengan roti. Kalau sekarang kita mencoba mendengarkan kata-kata itu dengan semangat ekaristi sebagai aksi bersama, akan muncul getaran yang berbeda dari yang selama ini kita yakini. 

Istilah tubuhku menunjuk kepada kepatuhan utuh orang yang berbicara, yakni Jesus yang rela sampai mati patuh kepada kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia. ‘Tubuhku yang diserahkan bagimu’ melambangkan seluruh tindakan: memberkati, memecahkan dan membagi-bagikan roti. Sedangkan kata ”inilah’ menunjuk pada seluruh perbuatan Jesus, bukan roti itu saja.

Maka Tradisi Gereja Purba tidak mempermasalahkan perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Jesus, tetapi lebih memperhatikan umat beriman. Bukan apa yang terjadi dengan roti dan anggur melainkan "apa yang terjadi dengan umat beriman yang merayakan perjamuan dengan roti dan anggur?" Mereka yang mengambil bagian dalam perjamuan harus menjadi "roti dan anggur bagi sesama", seperti Jesus sendiri adalah roti dan anggur yang diserahkan pada umat. Karena iman Gereja Purba bersifat normatif bagi iman kita sekarang, maka tidak tersedia  pilihan lain bagi kita kecuali harus membangun Gereja agar semakin hari semakin menjadi roti bagi umat manusia. Niat ini harus selalu diperbaharui bila umat bersama-sama merayakan ekaristi, dan dengan demikian kesadaran akan makna ekaristi juga akan semakin diperdalam (Boff, 23-30).

Mengenang Jesus berarti mengakui Dia sebagai ‘man for others’, yakni orang yang secara tegas dan tuntas patuh kepada kehendak Allah untuk membebaskan manusia dari cengkeraman rejim dosa. Penjajahan dosa dewasa ini tampil dalam tatanan dan sistem yang menghisap habis-habisan manusia dan alam semesta. Setiap pengikut Jesus tidak cukup mengamini gagasan itu tetapi juga mengamankan­nya dari rongrongan ambisi tersembunyi dalam diri kita maupun ancaman dari luar. Kemudian dengan semangat bekerja tanpa mengharapkan imbalan dan berjuang tanpa mengeluh kesakitan kita mencoba agar gagasan itu menjadi kenyataan. 

Saat ini kita wajib menggali kembali akar tradisi asli dari Alkitab, sehingga ekaristi lebih menjadi ‘tindakan’ seperti dilakukan oleh Gereja Purba. Seluruh tindakan dalam hidup kita persembahkan ke altar. Maka ketika imam berkata : Inilah tubuh Kristus dan kita menjawab amin, artinya kita mengamini kenyataan diri kita itu. Dengan demikian ekaristi berdaya-guna untuk membangun hidup kita sebagaimana dikehendaki Jesus.
Akhirnya mulai sekarang harus dibangun komu­nitas ekaristi (Paoli, 25-28), yakni komunitas yang dihimpun melalui ekaristi yang asli. Komuni­tas itu senantiasa berusaha menafsirkan ceritera tentang Jesus dalam kenyataan sehari-hari (Gustafson, 56-58). Ibadat yang kehilangan ceriteranya akan cepat berubah menjadi upacara rutin dan mandul. Bila sudah demikian tidak mungkin membuat komitmen yang tulus. 

K E P U S T A K A A N
Balasuriya, Tissa
1977 THE EUCHARIST AND HUMAN LIBERATION. London : SCM Press Ltd
Berger, Peter L
1992 KABAR ANGIN DARI LANGIT. Jakarta : LP3ES.
Boff, Leonardo
1986 ECCLESIOGENESIS. THE BASE COMMUNITIES RE-INVENT THE CHURCH. Quezon City : Claretian Publications.
Galilea, Segundo
1987 THE REIGN OF GOD AND HUMAN LIBERATION. Quezon City : Claretian Publications.
Grassi, Joseph A.
1985 BROKEN BREAD AND BROKEN BODIES. New York : Orbis Books
Gustafson, James M.
1961 TREASURE IN EARTHEN VESSEL. New York : Harper & Row Publisher
Hellwig, Monica K.
1976 THE EUCHARIST AND THE HUNGER OF THE WORLD. New York : Paulist Press.
Mesa , Jose M. de
1987 IN SOLIDARITY WITH CULTURE. Quezon City : Maryhill School of Theology no. 4
Nolan, Albert
1985 JESUS BEFORE CHRISTIANITY. Quezon City : Claretian Publications.
Paoli, Arturo
1987___GATHER TOGETHER IN MY NAME. Quezon City : Claretian Publications.
To share food and share drink is to share each other’s fate and blessing

-----------------------------------------------------------------------------------------


Doa “Bapa Kami Kaum Tertindas” 

Romo Adi Wardaya SJ




Romo Adi Wardaya SJ yang meninggal pada pkl. 17. 35 Kamis (8/12-2011) setelah beberapa lamanya sakit gagal ginjal dan diabetes di RS. Carolus Jakarta tak hanya terkenal sebagai pastor yang getol mengampanyekan gerakan active non violence (ANV) di kalangan kaum muda tetapi juga peduli dengan keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tak heran bila bersama Kelompok Keping di Solo dia membuat doa Bapa Kami bersuasana seperti ini

Bapa kami yang ada di surga
Engkaulah Allah yang memihak orang yang melarat, bukan pada orang yang gila harta
Engkaulah Allah yang berdiri di sisi orang yang tertindas, bukan pada orang yang gila kuasa
Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina, bukan pada orang-orang yang gila hormat.

Dimuliakanlah namaMu
Di antara para petani, Yang harus menggarap sawah-sawah tergadai,
Di lingkungan para buruh, Yang harus berteduh di gubuk kumuh
Di kalangan anak asongan, Yang harus mandi di kali tercemar,
Di antara rakyat kecil, Yang tergusur demi suksesnya pembangunan

Datanglah KerajaanMu
Yakni dunia baru,
Yang berundang-undang cintakasih
Yang berhaluan kebebasan,
Yang bertatanan keadilan.

Jadilah kehendakMu di atas bumi,
Untuk memberi makan pada yang lapar
Untuk memberi minum pada yang haus
Untuk memberi tumpangan pada para pendatang
Untuk memberi pakaian pada yang telanjang
Untuk melawat mereka yang sakit
Untuk mengunjungi mereka yang ada dalam penjara
Untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang tertimpa ketidakadilan

Seperti di dalam sorga,
Yang berpihak pada rakyat kecil
Yang mengutuk segala bentuk intimidasi
Yang menghilangkan segala upaya pembodohan masyarakat
Yang membongkar segala
praktek bisnis serakah tanpa moral
Yang mendobrak segala praktek penyalahgunaan kekuasaan

Berilah kami rejeki pada hari ini,
Agar kami kuat dan berkobar dalam membongkar budaya bisu
Agar kami kuat dan pantang mundur dalam melawan b udaya takut
Agar kami kuat dan berani menentang budaya pakewuh

Dan ampunilah kesalahan kami,
Karena kami diam, Ketika hutan-hutan dibabat untuk arena balap mobil
Karena kami bungkam, Ketika rumah dan ladang digusur untuk lapangan golf
Karena kami bisu, Ketika sawah-sawah dirampas untuk rumah mewah
Karena kami tak acuh, Ketika rakyat kecil disingkirkan demi gemerlapnya keindahan kota

Seperti kami pun mengampuni,
Mereka yang bersalah kepada rakyat
Melalui sistem pembodohan massal
Sehingga rakyat hanya mampu mengucap “ya, ya, dan ya”

Jangan masukkan kami ke dalam percobaan
Sehingga kami pun ikut melakukan kekerasan
Seperti mereka yang tidak mengenal Tuhan,
Sehingga kami hanya mampu melontarkan kritik
Tanpa kami sendiri bertindak adil, jujur, dan bertanggung jawab,
Sehingga kami berpihak dan membantu orang kecil
Tetapi kami sendiri tidak terlepas dari permainan manipulasi

Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat,
Yakni pikiran yang memonopoli kekayaan alam,
Perkataan untuk memanipulasi pendapat umum,
Perbuatan yang melecehkan keinginan rakyat.
Amin.
 --------------------------------------------------------------


EUCHARISTISCH CONGRES TE DJOKJAKARTA
Grootsche Viering van Het 25-Jarig Missiewerk in de Vorstenlanden
Door B. SCHOUTEN, SJ
(dalam ST. Claverbond, Nijmegen, 1939, 273-292)
diterjemahankan dalam bahasa Indonesia
oleh Br. Edelwaldus, FIC
*
KONGRES EKARISTI DI YOGYAKARTA
Pesta Terbesar Atas 25 Tahun Karya Misi di Kerajaan Mataram
Oleh B. SCHOUTEN, SJ
Pewartaan secara bebas di Kerajaan Mataram telah mendapat izin resmi 25 tahun yang lalu. Berkat berlimpah selama 25 tahun kepada penduduk Jawa Tengah, karena hati mereka terbuka bagi pengenalan dan cintakasih Sang Penebus Yesus Kristus telah menemukan jalan serta kebenarannya.

Penduduk Jawa yang beragama Katolik mau memperingati kejadian yang mulia ini dengan merayakan suatu perayaan besar: suatu manifestasi rasa terimakasih atas kurnia iman Kristiani. Untuk bisa menghaturkan kebesaran kebaikan Allah secara layak mereka menentukan untuk berkumpul bersama-sama di sekitar Yesus dalam Sakramen Mahakudus, Imam Agung mereka, supaya Dia bagi  mereka dan dengan mereka mempersembahkan kurban syukur kepada Allah Bapa.

Untuk perayaan pesta itu diadakan Kongres Ekaristi.

Kongres Ekaristi merupakan suatu pernyataan secara masal wujud nyata hormat dan setia kepada Allah yang tersembunyi di dalam Ekaristi. Dengan sembah sujud kepada Allah berarti juga menyampaikan silih atas penghinaan yang tak terbilang banyaknya yang tertuju kepada-Nya.
Kongres Ekaristi di masa yang akan datang juga menyadari dan dengan doa bersama-sama mohon kepada Kristus dalam Ekaristi, \agar banyak, sangat banyak panggilan imam di antara penduduk Jawa untuk menjamin dan melanggengkan penyebaran agama Katolik.
Suatu Kongres Ekaristi! Itu bukan sepele. Namun kita tidak mundur. Rapat-rapat, pembicaraan-pembicaraan diadakan, dan orang Jawa yang pandai berbicara membersihkan hambatan-hambatan. Dibentuk suatu Panitia Pusat, satu Panitia Kerja, ada puluhan komisi kerja dan dibagi dalam sub-sub komisi, singkatnya tumbuhlah suatu organisasi.
Meski Kongres itu pertama-tama dimaksudkan bagi penduduk Jawa di Jawa Tengah, namun ternyata juga segera di tempat lain ada perhatian yang besar dan orang-orang Eropa yang Katolik juga diundang untuk ambil bagian.
Panitia menghadapi tugas yang bukan main besar. Harus disediakan penginapan bagi ribuan orang Katolik yang akan tinggal di Yogya. Uang yang dibutuhkan tidak boleh kurang, dan pengumpulan dana seluruhnya dicatat. Pers dan alat publikasi yang lain dibutuhkan, dan akhirnya upacara-upacara gerejani di dalam stadion harus dirayakan seindah mungkin. Tugas-tugas dikerjakan dengan giat oleh banyak orang bersama-sama. Banyak pekerjaan dilakuan di belakang layar dan tidak diketahui oleh orang luar, namun hasilnya sangat indah. Uang yang masuk mengalir makin bertambah, lambat namun pasti, seperti sebuah sungai dari gunung, banjir uang sen, benggol dan talen, tapi juga banyak jumlah yang lebih besar, segera mencapai lebih dari f 1.000,- dan akhirnya mereka bisa mengumpulkan lebih dari f 2.000.-. Suatu kenyataan bahwa dalam keadaan saat itu harus dikatakan sungguh-sungguh luar biasa. Orang biasa menyaksikan semuanya dan di mana-mana umat Katolik kita mau membuat Kongres sebagai suatu yang indah.
Persiapan-Persiapan Terakhir
Ketika pekerjaan mulai dilakukan di stadion satu minggu sebelum Kongres, dalam persiapan yang umum tampak lebih banyak lukisan. Lapangan olah raga yang besar itu harus diubah menjadi suatu arena Kongres yang indah. Di sinilah, di lapangan tampak moderator seribu anak yang aktif dan berbakat seni, dari seribu pemuda yang bertugas membangun tenda-tenda stadion dan lagi pula yang mendampingi keseluruhan organisasi Kongres dengan nasihat dan tindakan. Pater Noyons, SJ - lah yang menempatkan anak-anak buahnya bekerja. Dua pandu yang tampan bertugas berpatroli dalam arti yang harafiah mendirikan tenda-tenda, dan sekelompok bukan pandu di antara para pemuda berjaga di malam hari di mimbar. Setiap pagi dimulai dengan mengikuti misa kudus di gereja dekatnya, dan mulai dengan bekerja dan membanting tulang. Sepanjang hari lapangan yang tenang itu menjadi hidup dengan langkah-langkah kaki dan berlari-lari; mereka memukul dan memalu, menggali dan membangun, melukis, menggergaji, menukang kayu dan menghias. Setiap tangan mempunyai pekerjaan, dan ada banyak sekali tangan-tangan trampil yang mengerjakan itu, sehingga dengan segera jadilah altar yang masih kosong, lebar dan tinggi dengan tiang-tiang yang menyangga.
Lapangan yang luas itu terkadang di bawah panas teriknya matahari, terkadang juga tiba-tiba hujan deras. Maka, latihan-latihan kelompok-kelompok itu dihentikan. Ada kelompok orang muda ikut dalam prosesi yang agung itu. Di mana-mana terdengar suara moderator yang bersemangat karena panas matahari, yang memberi komando sebagai seorang jenderal, kemudian memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak buahnya yang sedang menukang dan membangun. Setelah seharian bekerja penuh semangat, pemuda-pemuda itu menjaga pada waktu malam pekerjaan mereka.
Hari-hari besar makin mendekat, kerja rajin dan anthusiasme bertambah, dan mencapai puncaknya pada hari Jumat sore. Pada sore hari itu lapangan diterangi, para imam mengadakan latihan untuk misa pontifikal, dan paduan suara serta kelompok-kelompok prosesi mengadakan latihan terakhir untuk upacara besar itu.
Sementara menunggu peristiwa menggembirakan itu, masih ada satu hal yang mengkhawatirkan, suatu masalah ketakutan yang menegangkan, yaitu cuaca. Meski masa kekeringan, air telah berminggu-minggu menggantung di udara, di mana-mana liburan kacau karena hujan deras, dan sekarang juga ada bahaya, bahwa segalanya kehujanan. Hari-hari akhir ini lapangan itu masih berlumpur. Ada satu solusi: berdoa. Maka, yang tua dan yang muda berdoa. Di keluarga-keluarga baik di kota maupun di desa orang-orang waktu sore bersama-sama berlutut untuk mohon kepada Tuhan yang Maha kasih, supaya tidak hujan pada waktu Musim Timur. Di stadion juga para pemuda berdoa bersama-sama. Setiap sore berdoa rosario bersama-sama, namun tiap-tiap kelompok berjaga-jaga, jika mendung mengancam kalau bulan dan bintang-bintang tersembunyi. Kita mempunyai kepercayaan yang besar. Tuhan yang maha kasih mendengarkan doa-doa kita dengan sangat mengagumkan. Meski pada hari-hari Minggu sebelumnya masih hujan, ketika altar telah dihias, di stadion tidak turun hujan lagi, sedangkan di sekitar Yogya masih turun hujan deras. Pada hari Minggu Kongres, pada pagi hari hujan masih sebentar menetes, selanjutnya sama sekali tidak dan baru saja dua jam setelah upacara penutupan pada hari Senin turunlah hujan deras di lapangan yang sudah ditinggalkan, sedangkan hari-hari berikutnya juga terus menerus cuaca hujan.
Pembukaan Upacara dan Pujian Pontifical
Pada tanggal 29 Juli mulailah pagi cerah dan angin Musim Timur yang segar, dan menjelang pukul 16.00, ketika stadion dibuka, langit seperti kubah biru tak berawan di atas warna-warni kepausan yang ada di tembok-tembok stadion dari ribuan para peserta menyerukan selamat datang.  Mereka  ribuan datang dari Yogya, Solo, Klaten, Semarang dan Muntilan, Malang, Surabaya dan yang dari jauh lagi. Dari tiga arah mengalirlah yang muda dan tua, laki-laki dan perempuan dalam pakaian yang indah, lencana Kongres di dada mereka, masuk ke dalam stadion yang indah, mereka menyebar di seluruh lapangan yang luas. Sejumlah limapuluhan panitia penertiban mengatur dengan cekatan, agar orang banyak itu segera menemukan tempat masing-masing.
Stadion yang besar itu diciptakan kembali menjadi tempat ibadat di udara terbuka yang meriah oleh pekerja-pekerja yang rajin. Di atas altar yang tinggi itu, di depan mimbar yang besar menjulang karya kayu ukiran yang indah keemasan berbentuk segi lima dengan warna kuning putih, dikelilingi oleh ranting-ranting anggur, sedang pada kedua sisi yang lebar ada tiang piala dan hosti berwarna putih-kuning dalam bingkai dari tangkai gandum yang menjulang tinggi di udara. Keseluruhannya dirancang oleh Rama Noyongs, yang dikerjakan berminggu-minggu oleh beberapa orang Cina dan penggergaji bentuk-bentuk yang terbaik di bawa pemuda-pemuda dengan menggunakan tenaga yang paling kuat. Di sebelah kiri altar terdapat tahta bagi Uskup, dan seluruh mimbar dihubungkan dengan bangku-bangku komuni dan keseluruhan ditutupi kain berwarna putih-kuning. Altar diterangi dengan lampu dan ANIEM (Algemene Nederlansch Indische Electriciteit Mastschappij), yang juga memasang lampu sorot yang besar di keempat sudut stadion, penerangan yang indah, semakin sore yang menjadi gelap, lapangan itu seperti lautan warna dan terang, menjadi pemandangan, tontonan yang nyaman. Seluruh lapangan dipasang tiang-tiang berwarna putih dengan ular-ular yang berkibar dalam segala warna, sedang di dalam lapangan ada 18 bendera kelompok yang masih segar dari Pemuda Katolik, mengembangkan warna yang mencolok dalam kibaran angin.
Menjelang pukul 17.30 stadion dipenuhi oleh orang banyak, tak terbilang jumlahnya, kemudian tiba-tiba suatu gerakan mengalun dari ribuan para umat beriman yang berlutut, sedang Yang Mulia Mgr. P. Willekens, SJ dari arah timur resmi masuk diikuti oleh sejumlah imam, sambil memberi berkah kepada deretan naik ke altar. Paduan suara gabungan dari paroki-paroki yang memenuhi sisi altar dengan suaranya yang megah menyanyikan “Ecce Sacerdos Magnus”, diiringi oleh orgel Hammond dengan suaranya yang penuh dan dengan pengeras suara menyebarkan suara sampai ke pojok-pojok lapangan.
Bapa Uskup duduk di tahta dengan pakaain kegerejaan yang megah dan dengan mitra serta tongkatnya berjalan ke kaki altar, tempat beliau melambungkan “Veni Creator” sebagai pembuka pujian pontifikal. Mgr didampingi oleh dua imam Jawa, dan seorang asisten imam, sedang sebagai pemimpin upacara tampil Fr. Van de Werf, memimpin upacara resmi itu dengan para putra altar anak-anak Jawa yang telah terlatih.
Di sekitar altar sekelompok para imam pada berlutut dari segala daerah Jawa, bahkan dari pulau-pulau yang dekat seperti Bali dan Flores.
Setelah bernyanyi “Salve Regina” Bapa Uskup memberikan sambutan yang mengena, yang beliau kutip dari naskah, “Si scires donum Dei” (“Bila Anda mengerti karunia Allah”), menampakkan keagungan iman dalam Kristus dan Ekaristi Kudusnya, dan merumuskan dalam tiga tujuan Kongres Ekaristi sbb.: “hormat kepada Allah yang Maharahim dan cinta-Nya yang menyucikan, berterimakasih atas karunia-karunia surgawi-Nya kepada tanah ini pada waktu yang lalu; hormat karena silih-Mu atas ketidakterimaan dari masa sekarang yang banyak itu; hormat oleh doa permohonan agar banyak putra Jawa di masa mendatang menjadi imam, teman kerja dari kasih oleh Kristus yang besar”.
Ketika Bapa Uskup mengakhiri sambutannya yang didengarkan dengan penuh perhatian, Rama Soegijapranata, SJ naik ke mimbar, menyampaikan sambutan Bapa Uskup kepada hadirin yang banyak sekali dalam bahasa Jawa, dan dalam kata penutup yang penuh semangat untuk mengungkapkan kegembiraannya atas permulaan orang-orang Katolik dari Jawa Tengah yang masal ini, membangkitkan rasa terimakasih yang besar serta penuh semangat.
Lalu disusul dengan “Magnificat” dan “Tantum Ergo”, serta diberikan berkat Sakramen Mahakudus, suatu saat yang sangat mengharukan ketika dalam keheningan yang dalam udara sore seperti dalam dongeng ribuan umat berlutut di hadapan yang teberkati Kristus dalam Ekaristi. Semuanya berdoa dalam bahasa Jawa “Terpujilah Allah”, kemudian paduan suara melambungkan “Christus vincit” dengan penuh semangat.
Sebagai penutup hari pertama Kongres ini Bp. R. C. Soegiri Moeradiwidyana, Ketua Komite Pusat, naik ke mimbar mengucapkan hormat dan syukur atas nama umat Katolik Jawa kepada Bapa Uskup untuk segala apa yang telah dilakukan untuk misi. Dalam terimakasihnya juga kepada para pastor, para bruder dan para suster yang telah bertahun-tahun mencurahkan tenaga mereka bagi pertumbuhan misi di Jawa. Dia mengakhiri sambutannya dengan mengucapkan terimakasih kepada hadirin yang datang pada pembukaan perayaan Kongres Ekaristi yang menyenangkan ini. Dengan ini diakhirilah pertemuan  yang pertama, dan dengan iringan orgel yang membahana sekali lagi Bapa Uskup diikuti oleh para rohaniwan berjalan keluar sambil memberkati di antara barisan-barisan yang berlutut. Sesudahnya ribuan hadirin juga keluar dari stadion dengan sangat teratur, memenuhi jalan-jalan Kota Baru penuh dengan suasana pesta. Pada setiap wajah tampak terbaca kegembiraan mereka pada sore yang tak terlupakan ini.
Seorang saksi mata menulis, suatu upacara yang luar biasa dan mengena. Mereka yang telah menyaksikan, menikmati keberuntungan itu,  dan akan mebawa suatu kenangan yang tak pernah bisa dilupakan.
Duapuluh lima tahun yang lalu, permulaan pengembangan karya misi baru dan setelah 25 tahun, beribu-ribu orang dalam iman yang dalam serta kepercayaan kepada Allah yang besar berlutut di hadapan Sakramen Mahakudus, mengucapkan syukur atas kemurahan hati serta memberikan silih kepada Yang Mahatinggi atas ketidak menghargai karunia-Nya oleh makhluk-Nya, dan dengan hati bernyala memohon kepada Yang Mahakuasa panggilan imam untuk masa depan, yang akan menjadi tanda kebaikan dan kasih Allah yang besar, menjadi sutu hasil yang melimpah atas kerja misi yang berat dan sukar, menjadi janji bagi masa depan orang Katolik Jawa!”
Keseluruhan upacara disiarkan oleh pemancar setempat “Mavro” dan juga oleh “Ninoni”, dan disiarkan radio lewat segala 28 penyiar kepulauan dan keseluruh Hindia Belanda.
Misa Kudus Pontifikal
Hari kedua Kongres dibuka dengan misa kudus pontifikal yang dipersembahkan oleh  Mgr. J. Panico, Delegasi Apostolik dari Australia, yang pada kunjungannya ke Hindia Belanda dengan kehadirannya ingin merayakan Kongres Ekaristi di Yogyakarta.
Sejak pagi-pagi benar, sekali lagi stadion dipenuhi dengan ribuan umat beriman, dan menurut perkiraan paling tidak sekitar 13.000 umat.  Pada pukul 17.30 dibunyikan terompet dan dikuti nyanyian paduan suarta yang menyanyikan “Ecce Sacerdos Magnus”. Kemudian Mgr. J. Panico didampingi oleh Mgr. P. Willekens, dan Mgr. King, Sekretaris Delegasi, berjalan memasuki stadion, dan diikuti oleh umat banyak, rombongan imam dan barisan panjang dari para putra altar. Mgr. Panico duduk di tahta, kemudian para Monseigneur yang berpakaian lengkap dengan perlengkapannya berjalan ke altar untuk  memulai misa pontifikal.  Kedua Monseigneur yang lain menempati tempat di mimbar. Di sampingnya imam-imam pembantu berfungsi sebagai diakon dan sub-diakon. Imam-imam Jawa Rama Hardjosoewanda, SJ dan Djajasepoetra SJ. Paduan suara mulai dengan pembuka misa Sakramen Mahakudus, sedang misa yang dipakai bagian tetap Minggu yang ke 11. Sekali lagi “Nirom” dan “Mavro” , menyiarkan di radio dan disambungkan dengan instalasi.
Para rohaniwan, bruder dan suster duduk di kursi di sebelah kanan altar, dan di sebelah lain banyak orang Eropa mengikuti upacara.
Keseluruhannya sekali lagi menyajikan pemandangan yang indah mempesona: dengan hormat dan khusuk umat yang banyak itu mengikuti langkah-langkah suci, suara lagu-lagu yang diriingi oleh suara orgel, dan pada saat konsekrasi, pukulan gong yang berat itu, menggelagar di seluruh stadion yang sunyi khidmat itu, dan sinar matahari yang sedang terbit menerangi altar cemerlang itu, para imam dan umat beriman yang sedang berdoa itu dengan sinar matahari keemasan, mereka merasa dekat pada Allah.
Setelah bacaan Injil, komuni kudus diterimakan oleh tidak kruang dari 8 imam. Dengan petunjuk-petunjuk para sub-komisaris, ribuan pengikut Kongres mendekati meja suci dalam urutuan yang teratur, semuanya dalam iman mereka yang besar dan rasa syukur yang bernyala-nyala, menjadi satu dalam ambil bagian pada kurban Kristus.  Penerimaan komuni berjalan terus dan berakhir sampai “Ite, missa est”. Kemudian Rama Hardjosoewanda naik ke mimbar mengumumkan dalam bahasa Latin dan bahasa Jawa,  bahwa Mgr. J. Panico memberi berkat kepausan kepada semua.
Sebentar kemudian dengan khidmat dari mulut Delegasi Kepausan  terucap kata-kata berkat, “Benedicat vos…: dan dengan tangannya memberkati umat beriman yang berlutut.  Itulah saat yang mengharukan bagi orang-orang desa yang sederhana dan juga bagi yang lain yang baru saja menemukan iman didalam Kristus dan tak pernah mengalami upacara gerejawi yang besar. Di dalam hati mereka pasti tumbuh kegembiraan dalam meraba-raba pada kebenaran: persatuan mereka dalam Gereja Kristus.
Pakaian misa mereka tanggalkan, kemudian sambil memerikan berkat Paduka yang Mulia meninggalkan lapangan Kongres.
Rapat Seksi-Seksi
Pukul 09.30 hari kedua Kongres tercantum dalam agenda: bermacam-macam rapat seksi-seksi di beberapa tempat dalam kota. Kami berkesempatan mengunjungi sejenak ke semua seksi. Bagian terpenting dalam rapat setiap seksi, suatu pidato yang sesuai dalam arahan hari itu.
Di sekolah susteran bagi anak Cina berbahasa Belanda, Rama Reksoatmadja, SJ berpidato kepada sekelompok masal pemuda Jawa.  Rama Hardjasoewanda, SJ memberikan ceramah bagi bapak-bapak yang berminat di ruang sandiwara yang besar kepunyaan Hwa Kiauw Societeit, yang hampir tidak mencukupi bagi mereka. Mereka berdiri di semua jalan. Rapat seksi ini mendapat giliran kunjungan kehormatan dari Mgr. J. Panico, Mgr. P. Willekens dan Mgr. King. Kedua Monsinyur berturut-turut menyampaikan sambutan dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Belanda, dan sesudahnya Rama Hardjasoewanda menerjemahkan bahasa mereka ke dalam bahasa Jawa.
Ibu-ibu Jawa berkumpul di ruangan yang luas, gedung bioskop Luxor, dan karena jumlah pengunjung yang besar tempat duduk boleh didobel. Di sinilah Rama Soegijapranata SJ berpidato. Pemuda-pemudi Jawa berapat di Bintaran dengan pembicara Rama Djojosepoetra, SJ. Anak-anak Jawa, putra dan putridisapa di pendapa sekolah Bruderan, oleh br. Petrus dan seorang siswa Seminari Kanisius.
Rapat Seksi bagi mereka yang berbahasa Melayu, orang-orang Flores dan Cina, di pendapa Seminari, dan Rama Martawerdaya, SJ memberikan kata pengantar, sedang kelompok orang Eropa berapat di gedung KSB untuk mendengarkan pidaro dari Prof. Dr. J. Kurris, SJ.
Di mana-mana didapati suasana perayaan Kongres, dan tidak sedikit suasana pesta itu ditambah oleh agenda-agenda yang sungguh-sungguh bagus, yang disajikan oleh tiap-tiap peserta pertemuan. Nyanyian, musik dan drama, banyak ragamnya, yang disesuaikan  dengan setiap seksi, dan mereka menjag adanya beragam selingan. Terbukti lagi di sini, banyak perhatian yang dicurahkan, agar bagian agenda dari Kongres ini boleh mencapai hasilnya yang baik.
Pujian yang Khidmat dengan Perarakan; Suatu Pemandangan yang Mempesona
Kongres akan dimahkotai dengan suatu pujian yang khidmat, dan Mgr. J. Panico akan memberi sambutan dan akan diadakan perarakan Sakramen Mahakudus. Namun pada waktu pagi sangat redup, mendung dan menjelang pukul 15.00 udara tampak mengancam. Namun, kami tetap penuh percaya dan sekali lagi umat berlimpah di seluruh lapangan Kongres dengan meriah.
Di sekitar altar para rohaniwan yang hadir, berlutut sedang pada sisi kiri Yang Mulia Tuan K. Orie,  Gubernur Solo dan Ketua Kehormatan Komite, beserta keluarganya duduk di depan orang-orang Katolik Eropa. Pukul 17.00 kedua Monseigneur dengan cara yang khidmat seperti biasa berjalan memasuki stadion, dan naik ke mimbar tempat mereka berlutut pada kursi doa.
Sakramen Mahakudus ditahtakan dan paduan suara menyanyikan “Adoremus” dan “Salve Regina”, sementara itu berdatangan bermacam-macam kelompok perarakan yang berbaris di lapangan A.M.S atau Algemene  Midelbaar School yang terletak di seberang jalan, memasuki stadion. Sekarang perarakan  yang agung itu perlahan-lahan mulai bergerak. Di belakang salib iringan para misdinar diikuti oleh mereka yang ambil bagian, kelompok-kelompok sampai di depan mimbar, kemudian, melintang masuk ke lapangan, melewati bagian-bagian, lapangan dibagi-bagi menjadi bagian-bagian, mengikuti jalan-jalan yang lebar, sehingga bisa melewati tiap-tiap bagian yang penuh umat itu.
Kami tidak dapat menulis secara lengkap tentang tiap-tiap kelompok. Keseluruhan prosesi itu begitu indah, mempesonakan, sehingga kata-kata saja tidak dapat memberi kesan yang lemah dan ala kadarnya. Di belakang vandel mereka adalah wakil-utusan dari Perkumpulan-perkumpuilan dan Kongregasi-Kongregasi. Kelihatan juga militer-militer, berjalan tegak, tangan kirinya memegang pedang dan tangan kanannya memegang rosario. Para seminaris di belakang bendera Kanisius, barisan-barisan anak-anak pengiring dan malaikat-malaikat mengiringi mereka. Rombongan gadis-gadis asuhan suster sangat indah. Semuanya berpakaian merah dan mereka membawa keranjang, dalam bentuk suatu piala yang besar dengan bunga-bunga merah, yang di sebelah atas disematkan hosti yang besar putih, yang sangat mengesankan lagi juga kelompok-kelompok rosario yang tak habis-habisnya. Lebih dari 100 pemuda berpakaian, dirangkai secara harmonis, membentuk rosario dari manik-manik hidup, manik-manik berwarna biru, ungu dan mawar-mawar hijau sesuai dengan pakaian-pakaian yang mereka kenakan. Didahului oleh tiga kelompok pembawa bunga berpakaian putih yang sesuai, mereka membawa tulisan sesuai dengan peristiwa-peristiwa gembira, sedih dan mulia. Semuanya dalam kesungguhan yang khidmat, hormat dan prosesi berjalan teratur. Arca IbuTuhan menyambung kelompok simbolis ini diusung para pemuda yang lebih besar dalam pagar bendera berwarna-warni menyala. Itu semua, dalam satu kata: bagus!
Amat banyak kelompok frater Seminari Tinggi dan para bruder ikut berdoa, sedang 36 imam dalam dalam rochet dengan khidmat mendahului Sakramen Kudus. Yang Mahakudus diselimuti sebuah baldakijn yang indah, dibawa oleh Rama Dr. J. van Baal, SJ, Superior Misi, sedang Mgr. J. Panico dan Mgr. P. Willekens, SJ dengan hormat mengiringi Kristus dalam Ekaristi. Para suster menutup arak-arakan ini.
Prosesi yang hebat itu berjalan terus diantara ribuan umat yang berlutut, dengan selingan doa, nyanyian dan suara orgel.
Korespondensi Kurir menulis, “Itu adalah suatu pengungkapan iman yang indah, mengesankan dan mengharukan, suatu sembah bakti kepada Allah Yang Tersembunyi dalam Ekaristi Kudus. Begitu indah, begitu mengharukan. Di sinilah dengan kata-kata saja tidak mencukupi. Kami melihat dengan mata sendiri pemandangan yang indah ini, banyak imam, orang-orang Eropa dan orang-orang Jawa tidak bisa menguasai rasa haru mereka. Siapa tidak mengerti rasa haru mereka, karena rasa terimakasih mereka yang mengalami pekerjaan berat dari karya misi mereka mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan.
Setelah prosesi itu selesai Delegasi Apostolik duduk di tahta, dan berpidato dalam bahasa Inggris kepada para peserta Kongres yang berkumpul: Paduka yang Mulia mengaakan sangat bergembira dngan pesta ini, karena kita berterimakasih kepada Allah atas kbaikan hati-Nya yang kekal, yang 25 tahun yang lalu untuk pertama kali dilimpahkan kepada tanah ini, diberkati oleh Allah dalam keindahan dan kesuburannya.
Pembaruan janji baptis merupakan wahyu kepada semuanya dan kesetiaan yang kokoh kepada iman yang tinggi, diterima dalam sakramen Baptis, merjpakan wahyu dari suatu keputusan yang besar, sampai kepada suatu tindakan untuk kehidupan sehari-hari dalam kehadiran-Nya yang nyata dalam Sakramen Mahakudus. Sebagai Utusan dari Wakil Kristus di dunia ini Mgr bisa memastikan bahwa Bapa Suci Paus Pius XII pada hari ini dalam batin sangat dekat.
Monseigneur menerangkan sangat terkesan dengan kesaksiannya yang cemerlang iman kekristenan yang masih muda. Setelah memuji para rama Serikat Yesus karena karya mereka yang penuh susah payah, Paduka Yang Mulia minta kepada semuanya untuk melaksanakan ajaran serta contoh mereka, agar Alah menghadiri karya mereka dengan selalu menghasilkan panenan jiwa yang melimpah. Laporan dari Paduka Yang Mulia tentang semua kejadian pada hari ini akan membawa penghiburan yang besar bagi Bapa Suci.
Pidato dari Mgr. Panico diterjemahkan ke dalam bahawa oleh Rama Hardjasoewanda. Tuan Jama Sastrawinata lalu berlutut di depan altar, untuk membarui janji baptis dengan suara lantang atas nama semua. Inilah janji resmi dari kesetiaan orang-orang Katolik dari tanah Kerajaan Mataram kepada Kristus Raja mereka.
Setelah menyanyikan “Te Deum” dan berkat dengan Yang Mahakudus para pemuda pembawa bendera membawakan lagu dengan khidmat lagu “Kepada-Mu, O Raja untuk selamanya”, dinyanyikan oleh ribuan peserta Kongres dengan semangat dalam bahasa Jawa. Dengan demikian berakhirlah manifestasi iman yang perkasa.
Udara tetap cemerlang, tak setetes pun air jatuh.
Misa Anak-Anak yang Khidmat
Jika upacara pada hari Minggu sore merupakan puncak dari pada Kongres, maka misa kudus untuk anak-anak di stadion dipersembahkan sebagai penutup.
Banyak anak laki-laki dan perempuan muncul, merupakan harapan misi masa depan, untuk mempersembahkan kegembiraan mereka kepada Teman, Kanak-Kanak yang Agung, Yesus dalam Sakramen Mahakudusnya. Yang mempersembahkan kurban misa dalah Rama Soegijapranata dan Rama Martawardaya serta Fr. Daroewendo menjadi asisten. Paduan suara yang besar dari pemuda-pemudi memenuhi seluruh tribun sebelah kiri dan suara nyaring mereka membawakan  Misa de Angelis secara patut dipuji; paduan suara bapak-bapak mengiringi lagi bagian yang tetap.
Sekali lagi hal ini menjadi upacara yang indah, terutama ketika anak-anak yang banyak dan beruturan teratur panjang mendekati meja suci dengan hormat. Memang, stadion tidak lagi begitu penuh, namun banyak orangtua dan yang lain juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi satu dengan anak-anak. Untuk memohonkan berkat Tuhan yang berlimpah bagi anak-anak itu di depan altar.
Sekarang Kongres telah lewat, namun hal itu mash hidup terus dalam waktu yang lama di dalam hati dari beribu-ribu orang Katolik Jawa, sebagai hubungan emas akan kesatuan di dalam iman kepada Yesus Kristus, dan tentang “kongres yang mengagumkan” itu akan masih dibicarakan lama oleh orang-orang desa dan di gunung-gunung yang tinggi. Ketika itu di Yogyakarta tetap kering, dan mereka yang tetap tinggal di rumah karena hampirdi mana-mana terus menerus hujan deras.
Di antara orang-orang Katolik hanya ada satu pernyataan rasa terimakasih dan  kegembiraan atas hari-hari yang sangat indah bagi yang telah ikut bekerja aktif untuk keberhasilan Kongres, dan dalam bulan ini mereka masih akan bersama-sama menghadiri misa kudus dengan khidmat untuk berterima kasih sedalam-dalamnya atas berkat yang berlimpah bagi keberhasilan Kongres secara gemilang bagi kita semua.
Para misionaris akan bergabung dengan mereka dan mengucapkan terimakasih kepada Allah atas karya rahmat-Nya di dalam hati begitu banyak orang Jawa Katolik , dan mereka tetap memohon dengan hati menyala yang lebih besar
“Adveniat Regnum Tuum!”,
“Datanglah Kerajaan-Mu”.
Catatan akhir,
1939 wilayah gerejawi yang sekarang disebut Keuskupan Agung Semarang menjadi bagian dari Vikariat Apostolik Batavia dengan Mgr. P. Willekens, SJ sebagai Vikaris Apostoliknya. Sebagai ungkapan syukur atas 25 tahun izin resmi karya misi di Kerajaan Mataram, yang disebut Vorstenlanden, diselenggarakan Kongres Ekaristi di Yogyakarta pada tanggal 29-31Juli 1939. Semoga paparan peristiwa iman Kongres Ekaristi bermakna bagi persiapan Kongres Ekaristi Keuskupan II Keuskupan Agung Semarang, 22-24 Juni 2012.
Salam, doa ‘n Berkah Dalem,
Semarang, 25 November 2011
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang